Ada beberapa orang yang tidak kita kenal secara pribadi, tapi kehadirannya memberi pengaruh nyata. Dr. Albertus Djaja adalah salah satunya. Melalui media sosial, ia hadir sebagai dokter yang bersuara tenang, menjelaskan hal rumit dengan cara sederhana, dan menjembatani ilmu kedokteran dengan keseharian orang awam.
Ia bukan selebritas, bukan tokoh politik, bukan juga figur kontroversial. Tapi ketika ia meninggal dunia secara mendadak pada awal 2024, ribuan orang merasa kehilangan. Ada rasa duka, tapi juga kebingungan. Sebab kepergiannya tidak disertai kejelasan.
Dan hingga kini, satu tahun berlalu, pertanyaan-pertanyaan itu belum benar-benar terjawab.
Dari Ruang Praktek ke Layar Ponsel
Dr. Albertus dikenal publik luas lewat Instagram. Ia menyampaikan edukasi kesehatan dengan gaya yang bersahabat. Tidak kaku, tidak rumit, dan yang terpenting: tidak menggurui. Banyak orang merasa ia adalah dokter yang bisa dipercaya. Seseorang yang berbicara berdasarkan data dan pengalaman, tapi tetap memahami sisi manusia dari setiap pasien.
Bagi banyak pengikutnya, Dr. Albertus bukan hanya sumber informasi, tapi juga inspirasi untuk hidup lebih sehat dan berpikir lebih jernih. Ia konsisten hadir, menjawab pertanyaan, dan membagikan sudut pandang medis yang sering luput dibicarakan dokter lain.
Namun, di balik semua itu, ada perubahan yang mulai terasa menjelang akhir 2023. Dan dari sinilah cerita mulai bergeser.
Ketika Topik Bergeser, dan Sorotan Publik Menguat
Beberapa bulan sebelum wafat, Dr. Albertus mulai membahas tema yang berbeda dari biasanya. Dari edukasi medis, ia mulai membicarakan investasi, pengelolaan aset, dan strategi keuangan pribadi. Ia kerap tampil live bersama seorang perempuan bernama Oktaviana Thamrin. Nama ini kemudian menjadi bagian dari rangkaian narasi yang banyak diperbincangkan publik setelah kematian Dr. Albertus.
Keduanya tampak dekat. Dalam sejumlah siaran, pembahasan mereka masuk ke ranah pribadi: tentang warisan, pengalihan aset, hingga pembicaraan yang tersirat soal tekanan mental.
Beberapa penonton live menyadari adanya perubahan. Wajah Dr. Albertus tidak setenang biasanya. Jawaban-jawabannya lebih pendek, ekspresinya sesekali tampak ragu atau tidak nyaman. Namun pada saat itu, tak banyak yang menaruh curiga. Baru setelah kabar kepergiannya muncul, potongan-potongan video lama itu ditelaah ulang.
Muncullah spekulasi.
Meninggal, Lalu Sunyi
Kematian Dr. Albertus diumumkan secara singkat. Tidak ada informasi mendetail soal penyebabnya. Tidak ada klarifikasi resmi dari pihak keluarga atau orang-orang yang sebelumnya terlihat dekat dengannya. Di titik inilah akun Instagram @justiceforalbertus muncul, menyuarakan kegelisahan publik.
Akun tersebut mulai merangkai ulang kronologi, mengangkat kembali video-video lawas, serta mempertanyakan sejumlah hal yang dinilai janggal: dari ekspresi selama live, dugaan pengalihan aset, hingga gaya hidup pihak-pihak tertentu setelah sang dokter tiada.
Apakah semua ini hanya asumsi berlebihan? Mungkin. Tapi ketika tidak ada penjelasan yang memadai, ruang spekulasi akan selalu terbuka. Dan diam, justru memancing lebih banyak tanya.
Antara Privasi dan Kebutuhan Akan Transparansi
Tentu, kematian seseorang adalah urusan pribadi. Tapi ketika orang tersebut adalah figur publik, dan ketika kepergiannya menyisakan begitu banyak ketidakjelasan, maka publik juga punya kepentingan untuk tahu. Bukan karena ingin mencampuri urusan keluarga, tetapi karena merasa kehilangan yang menyisakan luka dan rasa tak selesai.
Transparansi tidak harus berarti membuka semua detail. Tapi setidaknya cukup untuk meredam spekulasi, menghormati jasa orang yang sudah banyak membantu masyarakat, dan menjaga nama baiknya agar tidak dikotori asumsi yang tak perlu.
Sosok yang Tidak Boleh Hilang Begitu Saja
Dr. Albertus mungkin telah tiada. Tapi nilai-nilai yang ia tanamkan masih hidup. Ratusan video edukatifnya masih tersebar di media sosial. Banyak pasien dan pengikutnya masih merujuk pada pesan-pesan yang ia sampaikan. Ia mengajarkan bahwa kesehatan bukan hanya soal angka laboratorium, tapi soal kesadaran akan diri sendiri.
Karena itu, publik merasa tidak adil jika sosok seperti ini pergi tanpa penjelasan. Orang yang semasa hidupnya membantu banyak orang, pantas mendapat pengakhiran cerita yang setidaknya jelas dan manusiawi.
Apa yang Bisa Kita Lakukan Sekarang?
Tentu kita bukan penyidik. Kita juga bukan hakim moral. Tapi sebagai masyarakat, kita punya hak untuk mengingat. Untuk terus bertanya dengan cara yang beradab. Untuk tidak membiarkan orang baik tenggelam begitu saja dalam diam.
Jika memang ada yang janggal, maka semestinya dibuka. Jika semua ini hanya kesalahpahaman, maka perlu diluruskan. Keduanya penting untuk menjunjung kebenaran dan menjaga integritas seorang dokter yang hidupnya penuh dedikasi.